PENGANTAR
Perkawinan dalam Adat Batak mengandung nilai yang sangat sakral. Dikatakan sakral karena dalam pemahamannya bermakna pengorbanan bagi parboru (pihak penganten perempuan) karena ia “berkorban” memberikan anak perempuannya kepada orang lain pihak paranak (pihak penganten pria) , yang menjadi penerus marga keturunan Pihak Paranak nanti, sehingga pihak pria juga harus menghargainya dengan mengorbankan/ mempersembahkan satu nyawa juga yaitu menyembelih seekor hewan (sapi atau kerbau), yang kemudian menjadi santapan (makanan adat) dalam ulaon unjuk/ adat perkawinan itu.
Sebagai bukti bahwa santapan /makanan adat itu adalah hewan yang utuh, pihak pria harus menyerahkan bagian-bagian tertentu hewan itu (kepala, leher, rusuk melingkar, pangkal paha, bagian belakang dengan ekornya masih melekat, hati, jantung dll) . Bagian-bagian tersebut disebut tudu-tudu ni sipanganon (tanda makanan adat) yang menjadi jambar yang nanti dibagi-bagikan kepada para pihak yang berhak, sebagai tanda penghormatan atau legitimasi sesuai fungsi-fungsi (tatanan adat) keberadaan/kehadiran mereka didalam acara adat tersebut, yang disebut parjuhut.
Sebelum misi/zending datang dan orang Batak masih menganut agama tradisi lama, lembu atau kerbau yang dipotong ini ( waktu itu belum ada pinahan lobu) tidak sembarang harus yang terbaik dan dipilih oleh datu. Barangkali ini menggambarkan hewan yang dipersembahkan itu adalah hewan pilihan sebagai tanda/simbol penghargaan atas pengorbanan pihak perempuan tersebut. Cara memotongnya juga tidak sembarangan, harus sekali potong/sekali sayat leher sapi/kerbau dan disakasikan parboru (biasanya borunya) jika pemotongan dilakukan ditempat paranak (ditaruhon jual). Kalau pemotongan ditempat parboru (dialap jual) , paranak sendiri yang menggiring lembu/kerbau itu hidup-hidup ketempat parboru. Daging hewan inilah yang menjadi makanan pokok “ parjuhut” dalam acara adat perkawinan (unjuk itu). Baik acara adat diadakan di tempat paranak atau parboru, makanan/juhut itu tetap paranak yang membawa /mempersembahkan.
Kalau makanan tanpa namargoar bukan makanan adat tetapi makanan rambingan biar bagaimanpun enak dan banyaknya jenis makananannya itu. Sebaliknya “namargoar/tudu- tudu sipanagnaon” tanpa “juhutnya” bukan namargoar tetapi “namargoar rambingan” yang dibeli dari pasar. Kalau hal ini terjadi di tempat paranak bermakna “paranak” telah melecehkan parboru, dan kalau ditempat parboru (dialap jula) parboru sendiri yang melecehkan dirinya sendiri. Dari pengamatan hal seperti ini sudah terjadi dibeberapa tempat, yang menunjukkan betapa tidak dipahami nilai luhur adat itu.
Anggapan acara adat Batak rumit dan bertele-tele adalah keliru, sepanjang ia diselenggarakan sesuai pemahaman dan nilai luhur adat itu sendiri. Ia menjadi rumit dan bertele-tele karena diselenggarakan tidak sesuai pemahaman atau tergantung seleranya.
BAGIAN I
PRA NIKAH
Yang dimaksud dengan pra nikah disini adalah proses yang terjadi sebelum acara adat pernikahan.
A. Perkenalan dan bertunangan.
Pernikahan tidak selalu dengan proses ini, khususnya ketika masih masanya Siti Nurbaya.
B. Patua Hata.
Terjemahannya menyampaikan secara resmi kepada orang tua perempuan hubungan muda mudi dan akan dilanjukan ke tingkat perkawinan. Dengan bahasa umum, melamar secara resmi.
C. Marhori-hori dinding.
Membicarakan secara tidak resmi oleh utusan kedua belah pihak menyangkut rencana pernikahan tersebut.
D. Marhusip.
Arti harafiahnya adalah berbisik. Maksudnya kelanjutan pembicaraan tetapi sudah oleh utusan resmi, bahkan ada kalanya sudah oleh kedua pihak langsung.
E. Pudun Saut.
Parajahon/ Pengesahan kesepakatan di Marhusip yang dihadiri dalihan na tolu dan suhi ampang na opat masing-masing pihak. Disini pihak Paranak/Pria sudah membawa makanan adat/makanan namargoar.
Catatan:
Aslinya dikatakan “Marhata Sinamot” dimana pembicaraan langsung tanpa didahului marhusip.
Yang pokok dibicarakan dalam acara adat Pudun Saut antara lain adalah
1. Sinamot.
2. Ulos
3. Parjuhut dan Jambar
4. Alap Jual atau Taruhon Jual)
5. Jumlah undangan
6. Tanggal dan tempat pemberkatan.
7. Tata acara.
(Selengkapnya lihat dalam Pedoman Pudun Saut).
BAGIAN II
UNJUK ATAU ACARA ADAT PERNIKAHAN
Acara ini diselenggarakan setelah acara pernikahan secara agama sesuai yang diatur dalam UU untuk itu.
A BEBERAPA Pengertian POKOK DALAM ADAT PERKAWINAN
1. Suhut , kedua pihak yang punya hajatan
2. Parboru, orang tua pengenten perempuan=Bona ni hasuhuton
3. Paranak, orang tua pengenten Pria= Suhut Bolon.
4. Suhut Bolahan amak : Suhut yang menjadi tuan rumah dimana acara adat di
selenggarakan.
5. Suhut naniambangan, suhut yang datang
6. Hula-hula, saudara laki-laki dari isteri masing-masing suhut
7. Dongan Tubu, semua saudara laki masing-masing suhut
8. Boru, semua yang isterinya semarga dengan marga kedua suhut
9. Dongan sahuta, arti harafiah “teman sekampung” semua yang tinggal dalam
huta/kampung komunitas (daerah tertentu) yang sama paradaton/solupnya.
10. Ale-ale, sahabat yang diundang bukan berdasarkan garis persaudaraan (kekerabatan
atau silsilah) .
11. Uduran, rombongan masing-masing suhut, maupun rombongan masing-masing hula-
hulanya.
12. Raja Parhata (RP), Protokol (PR) atau Juru Bicara (JB) masing-masing suhut, juru
bicara yang ditetapkan masing-masng pihak
13. Namargoar, Tanda Makanan Adat , bagian-bagian tubuh hewan yang dipotong yang
menandakan makanan adat itu adalah dari satu hewan (lembu/kerbau) yang utuh,
yang nantinya dibagikan.
14. Jambar, namargoar yang dibagikan kepada yang berhak, sebagai legitimasi dan
fungsi keberadaannya dalam acara adat itu.
15. Dalihan Na Tolu (DNT), terjemahan harafiah ”Tungku Nan Tiga” satu sistim
kekerabatan dan way of life masyarakat Adat Batak (Somba marHula-hula,Manat
marDongan tubu, Elek margelleng/ boru)
16. Solup, takaran beras dari bambu yang dipakai sebagai analogi paradaton, yang
bermakna dihuta imana acara adat batak diadakan solup/paradaton dari huta itulah
yang dipakai sebagai rujukan, atau disebut dengan hukum tradisi “sidapot solup
do na ro.
B PROSESI MASUK TEMPAT ACARA ADAT (Contoh Acara di Tempat Perempuan)
Raja Parhata/Protokol Pihak Perempuan = PRW
Raja Parhata/Protokol Pihak Laki-laki = PRP
Suhut Pihak Wanita = SW
Suhut Pihak Pria =
kedatangan rombongan hula-hula dan tulang
II. PRW memberi tahu kepada Hula-hula, bahwa SW sudah siap menyambut dan menerima
kedatangan Hula-hula
III. Setelah hula-hula mengatakan mereka sudah siap untuk masuk, PRW mempersilakan masuk
dengan menyebut satu persatu, hula-hula dan tulangnya secara berurutan sesuai
urutan rombongan masuk nanti:
1.Hula-hula, ……
2.Tulang, …….
3.Bona Tulang, …..
4.Tulang Rorobot, …..
5.Bonaniari, ……
6.Hula-hula namarhaha-maranggi:
-a …
-b….
-c….
dst
7.Hula-hula anak manjae, ….. ,
dengan permintaan agar mereka bersama-sama masuk dan menyerahkan pengaturan selanjutnya.
IV. PR Hulahula, menyampaikan kepada rombongan hula-hula dan tulang yang sudah disebutkan PRW pada III , bahwa Suhut Pihak Wanita sudah siap menerima kedatangan rombongan hula-hula dan tulang dengan permintaan agar uduran Hula-hula dan Tulang memasuki tempat acara , secara bersama-sama.
Untuk itu diatur urut-urutan uduran (rombongan) hula-hula dan tulang yang akan memasuki ruangan. Uduran yang pertama adalah Hula-hula,……, diikuti TULANG …….sesuai urut-urutan yang disebut
V. MENERIMA KEDATANGAN SUHUT PARANAK (SP).
Setelah seluruh rombongan hula-hula dan tulang dari SW duduk (acara IV), rombongan
Paranak/SP dipersilakan memasuki ruangan.
1. PRW, memberitahu bahwa tempat untuk SP dan uduran/rombongannya sudah disediakan
dan SW sudah siap menerima kedatangan mereka beserta Hula-hula , Tulang SP dan
uduran/rombongannya .
2 PRP menyampaikan kepada dongan tubunya SP, bahwa sudah ada permintaan dari SW
agar mereka memasuki ruangan.
Kepada hula-hula dan tulang (disebutkan satu perasatu) yaitu:
1. Hula-hula, ….
2. Tulang, …..
3. Bona Tulang, ….
4. Tulang Rorobot, …..
5. Bonaniari , …..
6. Hula-hula namarhaha-marnggi:
- a…….
- b…..
- c……..
- dst
7. Hula-hula anak manjae…..
PRP memohon, sesuai permintaan hula-hula SW agar mereka masuk bersama-sama dengan SP. Untuk itu tatacara dan urutan memasuki ruangan diatur, pertama adalah Uduran/rombongan SP & Borunya, disusul Hula-hula….., Tulang…..dan seterusnya sesuai urut-urutan yang telah dibacakan PRP (Dibacakan sekali lagi kalau sudah mulai masuk).
C MENYERAHKAN TANDA MAKANAN ADAT.
(Tudu-tudu Ni Sipanganon)
Tanda makanan adat yang pokok adalah: kepala utuh, leher (tanggalan), rusuk melingkar (somba-somba) , pangkal paha (soit), punggung dengan ekor (upasira), hati dan jantung ditempatkan dalam baskom/ember besar.
Tanda makanan adat diserahkan SP beserta Isteri didampingi saudara yang lain dipandu PRP, diserahkan kepada SW dengan bahasa adat, yang intinya menunjukkan kerendahan hati dengan mengatakan walaupun makanan yang dibawa itu sedikit/ala kadarnya semoga ia tetap membawa manfaat dan berkat jasmani dan rohani hula-hula SW dan semua yang menyantap nya, sambil menyebut bahasa adat : Sitiktikma si gompa, golang golang pangarahutna, tung so sadia (otik) pe naung pinatupa i, sai godangma pinasuna.
D MENYERAHKAN DENGKE/IKAN OLEH SW
Aslinya ikan yang diberikan adalah jenis “ihan” atau ikan Batak, sejenis ikan yang hanya hidup di Danau Toba dan sungai Asahan bagian hulu dan rasanya memang manis dan khas. Ikan ini mempunyai sifat hidup di air yang jernih (tio) dan kalau berenang/berjalan selalu beriringan (mudur-udur) , karena itu disebut ; dengke sitio-tio, dengke si mudur-udur (ikan yang hidup jernih dan selalu beriringan/berjalan beriringan bersama)
Simbol inilah yang menjadi harapan kepada penganten dan keluarganya yaitu seia sekata beriringan dan murah rejeki (tio pancarian dohot pangomoan).
Tetapi sekarang ihan sudah sangat sulit didapat, dan jenis ikan mas sudah biasa digunakan. Ikan Mas ini dimasak khasa Batak yang disebut “naniarsik” ikan yang dimasak (direbus) dengan bumbu tertentu sampai airnya berkurang pada kadar tertentu dan bumbunya sudah meresap kedalam daging ikan itu.
Bahasa adat yang biasa disebutkan ketika menyerahkan ikan ini adalah:
……………………………………………
E MAKAN BERSAMA
Sebelum bersantap makan, terlebih dahulu berdoa dari suhut Pria (SP) , karena pada dasarnya SP yang membawa makanan itu walaupun acara adatnya di tempat SW.
Untuk kata pengantar makan, PRP menyampaikan satu uppasa (ungkapan adat) dalam bahasa Batak seperti waktu menyerahakan tanda makanan adat:
Sitiktikma si gompa, golang golang pangarahutna
Tung, sosadiape napinatupa on, sai godangma pinasuna.
Ungkapan ini menggambarkan kerendahan hati yang memebawa makanan SP, dengan mengatakan walaupun makanan yang dihidangkan tidak seberapa (pada hal hewan yang diptong yang menjadi santapan adalah hewan lembu atau kerbau yang utuh), tetapi mengharapkan agar semua dapat menikmatinya serta membawa berkat.
Kemudian PRP mempersilakan bersantap
F MEMBAGI JAMBAR/TANDA MAKANAN ADAT
Biasanya sebelum jambar dibagi, terlebih dahulu dirundingkan bagian-bagian mana yang diberikan SW kepada SP. Tetapi, yang dianut dalam acara adat yaitu Solup Batam, yang disebut dengan “JAMBAR MANGIHUT”dimana jambar sudah dibicarakan sebelumnya dan dalam acara adatnya (unjuk) SW tinggal memberikan bagian jambar untuk SP sebagai ulu ni dengke mulak. Selanjutnya masing masing suhut membagikannya kepada masing-masing fungsi dari pihaknya masing-masing saat makan sampai selesai dibagikan
G MANJALO TUMPAK (SUMBANGAN TANDA KASIH)
Arti harafiah tumpak adalah sumbangan bentuk uang, tetapi melihat keberadaan masing-masing dalam acara adat mungkin istilah yang lebih tepat adalah tanda kasih. Yang memberikan tumpak adalah undangan SUHUT PRIA, yang diantarkan ketempat SUHUT duduk dengan memasukkannya dalam baskom yang disediakan/ ditempatkan dihadapan SUHUT, sambil menyalami pengenten dan SUHUT.
Setelah selesai santap makan, PRP meminta ijin kepada PRW agar mereka diberi waktu untuk menerima para undangan mereka untuk mengantarkan tumpak (tanda kasih)
Setelah PRW mempersilahkan, PRP menyampaikan kepada dongan tubu, boru/bere dan undangannya bahwa SP sudah siap menerima kedatangan mereka untuk mengantar tumpak.
Setelah selesai PRP mengucapkan terima kasih atas pemberian tanda kasih dari para undangannya
H ACARA PERCAKAPAN ADAT.
I. MEMPERSIAPKAN PERCAKAPAN:
1. PRW menanyakan SP apakah sudah siap memulai percakapan, yang dijawab oleh SP, mereka sudah siap
2. Masing-masing PRW dan PRP menyampaikan kepada pihaknya dan hula-hula serta tulangnya bahwa percakapan adat akan dimulai, dan memohon kepada hula-hulanya agar berkenan memberi nasehat kepada mereka dalam percakapan adat nanti
II. MEMULAI PERCAKAPAN (PINGGAN PANUNGKUNAN) .
Pinggan Panungkunan, adalah piring yang didalamnya ada beras, sirih, sepotong daging (tanggo-tanggo) dan uang 4 lembar. Piring dengan isinya ini adalah sarana dan simbol untuk memulai percakapan adat.
1. PRP meminta seorang borunya mengantar Pinggan Panungkunan itu kepada PRW
2. PRW, menyampaikan telah menerima Pinggan Panungkunan dengan menjelaskan apa arti semua isi yang ada dalam beras itu. Kemudian PRW mengambil 3 lembar uang itu, dan kemudian meminta salah seorang borunya untuk mengantar piring itu kembali kepada PRP
3. PRW membuka percakapan dengan memulainya dengan penjelasan makna dari tiap isi pinggan panungkunan (beras, sirih, daging dan uang), kemudian menanyakan kepada SP makna tanda dan makanan adat yang sudah dibawa dan dihidangkan oleh SP
4. Akhir dari pembukaan percakapan ini, keluarga SP mengatakan bahwa makanan dan minuman pertanda pengucapan syukur karena berada dalam keadaan sehat, dan tujuan SP adalah menyerahkan kekurangan sinamot , dilanjutkan adat yang terkait dengan pernikahan anak mereka
III. PENYERAHAN PANGGOHI/KEKURANGAN SINAMOT
1. Dalam percakapan selanjutnya, setelah PRW meminta PRP menguraikan apa/berapa yang mau mereka serahkan , PRP memberi tahukan kekurangan sinamot yang akan mereka serahkan adalah sebsar Rp… , menggenapi seluruh sinamot Rp…. . (Pada waktu acara Pudun Saut, SP sudah menyerahkan Rp … sebagai bohi sinamot (mendahulukan sebagian penyerahan sinamot di acara adat na gok).
2. Sebelum PRW mengiakan lebih dulu PRW meminta nasehat dari Hula-hula dan pendapat dari boru
3. Sesudah diiakan oleh PR W, selanjutnya penyerahan kekurangan sinamot kepada SW oleh SP.
IV. Penyerahan Panandaion.
Tujuan acara ini memperkenalkan keluarga pihak perempuan agar keluarga pihak pria mengenal siapa saja kerabat pihak perempuan sambil memberikan uang kepada yang bersangkutan
Secara simbolis, yang diberikan langsung hanya kepada 4 orang saja, yang disebut dengan patodoan atau “suhi ni ampang na opat” ( 4 kaki dudukan/pemikul bakul) yang merupakan symbol pilar jadinya acara adat itu. Dengan demikian biarpun hanya yang empat itu yang dikenal/menerima langsung, sudah mewakili menerima semuanya. Kepada yang lain diberikan dalam satu amplop saja yang nanti akan dibagikan SW kepada yang bersangkutan.
V Penyerahan tintin marangkup.
Diberikan kepada tulang /paman penganten pria (saudara laki ibu penganten pria). Yang menyerahkan adalah orang tua penganten perempuan berupa uang dari bagian sinamot itu
Seacara tradisi penganten pria mengambil boru tulangnya untuk isterinya, sehingga yang menerima sinamot seharusnya tulangnya
Dengan diterimanya sebagian sinamot itu oleh Tulang Pengenten Pria yang disebut titin marangkup, maka Tulang Pria mengaku penganten wanita, isteri ponakannya ini, sudah dianggapnya sebagai boru/putrinya sendiri walaupun itu boru dari marga lain.
VI. Penyerahan/Pemberian Ulos oleh Pihak Perempuan.
Dalam Adat Batak tradisi lama atau religi lama, ulos merupakan sarana penting bagi hula-hula, untuk menyatakan atau menyalurkan sahala atau berkatnya kepada borunya, disamping ikan, beras dan kata-kata berkat. Pada waktu pembuatannya ulos dianggap sudah mempunyai “kuasa”. Karena itu, pemberian ulos, baik yang memberi maupun yang menerimanya tidak sembarang orang , harus mempunyai alur tertentu, antara lain adalah dari Hula-hula kepada borunya, orang tua kepada anak-anaknya. Dengan pemahaman iman yang dianut sekarang, ulos tidak mempunyai nilai magis lagi sehingga ia sebagai simbol dalam pelaksaan acara adat.
Ujung dari ulos selalu banyak rambunya sehingga disebut “ulos siganjang/sigodang rambu”(Rambu, benang di ujung ulos yang dibiarkan terurai)
Pemberian Ulos sesuai maknanya adalah sebagai berikut:
Ulos Namarhadohoan
No Uraian Yang Menerima Keterangan
A Kepada Paranak
1 Pasamot/Pansamot Orang tua pengenten pria
2 Hela Pengenten
B Partodoan/Suhi Ampang Naopat
1 Pamarai Kakak/Adek dari ayah pengenten pria
2 Simanggokkon Kakak/Adek dari pengenten pria
3 Namborunya Saudra perempuan dari ayah pengenten pria
4 Sihunti Ampang Kakak/Adek perempuan dari pengenten pria
Ulos Kepada Pengenten
No Uraian Yang Mangulosi Keterangan
A Dari Parboru/Partodoan
1 Pamarai 1 lembar, wajib Kakak/Adek dari ayah pengenten wanita
2 Simandokkon Kakak/Adek laki-laki dari pengenten wanita
3 Namborunya (Parorot) Iboto dari ayah pengenten wanita
4 Pariban Kakak/Adek dari pengenten wanita
B Hula-hula dan Tulang Parboru
1 Hula-hula 1 lembar, wajib
2 Tulang 1 lembar, wajib
3 Bona Tulang 1 lembar, wajib
4 Tulang Rorobot 1 lembar, tidak wajib
C Hula-hula dan Tulang Paranak
1 Hula-hula 1 lembar, wajib
2 Tulang 1 lembar, wajib
3 Bona Tulang 1 lembar, wajib
4 Tulang Rorobot 1 lembar, tidak wajib
Catatan:
1. Hula-hula namarhahamaranggi dohot hula-hula anak manjae ndang ingkon ulos tanda holong nasida boi ma nian bentuk hepeng, songon na pinatorang. Songoni angka na asing na marholong ni roha.
2. Keruwetan yang terjadi karena undangan pihak perempuan merasa uloslah yang mejadi tanda holong/tanda kasih sehingga harus mengulosi, pada hal sesuai pemahaman pemberi ulos yang tidak sembarangan, ulos yang diberikan itu artinya sama dengan kado/tanda kasih bentuk lain baik barang atau uang, tidak ada nilai adat/sakralnya lagi
VII. Mangujungi Ulaon (Menyimpulkan Acara Adat)
1. Manggabei (kata-kata doa dan restu) dari pihak
Berupa
a. Ucapan terima kasih kepada dongan tubu dan hula-hulanya
b. Permintaan kepada Tuhan agar rumah tangga yang baru diberkati demikian juga orang tua pengenten dan saudara pihak Paranak yang lainnya
2. Mangampu (ucapan terima kasih) dari pihak SP
Ucapan terima kasih kepada semua pihak baik kepada hula-hula SW maupun kepada SP atas terselenggaranya acara adat nagok ini.
CATATAN:
Dalam marhata gabe-gabe dan mangampu, Raja Parhata masing-masing biasanya memberi kesempatan kepada Hula-hula dan boru/ber masing-masing turut menyampaikan beberapa kata sesuai fungsinya baru SUHUT sebagai penutup.
Disini tidak pada tempatnya memberi nasehat kepada pengenten panjang lebar, tetapi senentiasa permintaan kepada Tuhan agar rumah tangga yang baru itu menjadi rumahtangga yang diberkati.
3. Mangolopkon (Mengamenkan) oleh Tua-tua/yang dituakan di Kampung itu
Kedua suhut Parboru dan Paranak, menyediakan piring yang diisi beras dan uang ( biasanya ratusan lembar pecahan Rp1.000 yang baru) kemudian diserahkan kepada Raja Huta yang mau mangolopkon Raja Huta berdiri sambil mengangkat piring yang berisi beras dan uang olop-olop itu. Dengan terlebih dahulu menyampaikan kata-kata ucapan Puji Syukur kepada Tuhan Karena kasih-Nya cara adat rampung dalam suasana damai (sonang so haribo-riboan) serta restu dan harapan kemudian diakhiri , dengan mengucapkan : olop olop, olop olop, olop olop sambil menabur
4. Ditutup dengan doa / ucapan syukur
Akhirnya acara adat ditutup dengan doa oleh Hamba Tuhan.
Sesudah amin, sama-sama mengucapkan: horas ! horas ! horas !
5. Bersalaman untuk pulang,, suhut na niambangan Paranak menyalami Suhut Parboru.
BAGIAN III
PASKA PERNIKAHAN
Ada tradisi lama (tidak semua melakukannya) setelah acara adat nagok , ada lagi acara yang disebut paulak une/mebat dan maningkir tangga.
Acara ini dilakukan setelah penganten menjalani kehidupan sebagai suami isteri biasanya sesudah 7-14 hari (sesudah robo-roboan) yang sebenarnya tidak wajib lagi dan tidak ada kaitannya dengan acara keabsahan perkawinan adat na gok. Acara dimaksud adalah:
Suami isteri dan utusan pihak pria dengan muda mudi (panaruhon) mengunjungi rumah mertua/orang tuanya dengan membawa lampet ( lampet dari tepung beras dibungkus 2 daun bersilang). Menurut tradisi jika pihak pria tidak berkenan dengan pernikahan itu (karena perilaku) atau sang wanita bukan boru ni raja lagi, si perempuan bisa ditinggalkan di rumah orang tua perempuan itu
II. Maningkir Tangga. (Arti harafiah “Menilik Tangga)
Pihak orang tua perempuan menjenguk rumah (tangga anaknya) yang biasanya masih satu rumah dengan orang tuanya.
CATATAN:
Sekarang ini ada yang melaksanakan acara paulak une dan maningkir tangga langsung setelah acara adat ditempat acara adat dilakukan, yang mereka namakan “Ulaon Sadari” . Acara ini sangat keliru, karena disamping tidak ada maknanya seperti dijelaskan diatas, tetapi juga menambah waktu dan biaya ( ikan & lampet dan makanan namargoar) dan terkesan main-main/ melecehkan makna adat itu.
Karena itu diharapkan acara seperti ini jangan diadakan lagi dengan alasan:
1. Dari pemahaman iman, rumah tangga yang sudah diberkati tidak bisa bercerai lagi dengan alasan yang disebut dalam pengertian Paulak Une, dan pemahaman adat itu dilakukan setelah penganten mengalami kehidupan sebagai suami isteri.
2. Terkesan main-main, hanya tukar menukar tandok berisi makananan , sementara tempat Paulak Une dan Maningkir Tangga yang seharusnya di rumah kedua belah pihak. artinya saling mengunjungi rumah satu sama lain, diadakan di gedung pertemuan , pura-pura saling mengunjungi, yang tidak sesuai dengan makna dan arti paulak une dan maningkir tangga itu.
3. Menghemat waktu dan biaya, tidak perlu lagi harus menyediakan makanan namargoar (paranak) dan dengke dengan lampetnya (parboru)
4. Acara itu tidak harus diadakan dan tidak ada hubungannya dengan keabsahan acara adat nagok perkawinan saat ini.
5. Acara Paulak Une dan Maningkir Tangga diadakan atau tidak, diserahkan saja kepada kedua SUHUT karena acara ini adalah acara pribadi mereka, biarlah mereka mengatur sendiri kapan mereka saling mengunjungi
DALIHAN NA TOLU
DALIHAN NA TOLU ( D N T )
Pengertian Dalihan adalah tungku yang dibuat dari batu, sedangkan Dalihan natolu ialah tungku tempat memasak yang terdiri dari tiga batu. Ketiga dalihan yang ditanam berdekatan ini berfungsi sebagai tungku tempat memasak. Dalihan harus dibuat sama besar dan ditanam sedemikian rupa sehingga jaraknya simetris satu sama lain serta tingginya sama dan harmonis.
Pada zamannya, kebiasaan masyarakat Batak memasak di atas tiga tumpukan batu, dengan bahan bakar kayu. Tiga tungku itu, dalam bahasa Batak disebut dalihan. Falsafah dalihan natolu paopat sihal-sihal dimaknakan sebagai kebersamaan yang cukup adil dalam kehidupan masyarakat Batak.
Tungku merupakan bagian peralatan rumah yang sangat vital. Karena menyangkut kebutuhan hidup anggota keluarga, digunakan untuk memasak makanan dan minuman yang terkait dengan kebutuhan untuk hidup. Dalam prakteknya, kalau memasak di atas dalihan natolu, kadang-kadang ada ketimpangan karena bentuk batu ataupun bentuk periuk. Untuk mensejajarkannya, digunakan benda lain untuk mengganjal. Dalam bahasa Batak, benda itu disebut Sihal-sihal. Apabila sudah pas letaknya, maka siap untuk memasak.
Ompunta naparjolo martungkot sialagundi. Adat napinungka ni naparjolo sipaihut-ihut on ni na parpudi. Umpasa itu sangat relevan dengan falsafah dalihan natolu paopat sihal-sihal sebagai sumber hukum adat Batak.
Apakah yang disebut dengan dalihan natolu paopat sihal-sihal itu ? dari umpasa di atas, dapat disebutkan bahwa dalihan natolu itu diuraikan sebagai berikut :
Somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru. Angka na so somba marhula-hula siraraonma gadongna, molo so Manat mardongan tubu, natajom ma adopanna, jala molo so elek marboru, andurabionma tarusanna.
Itulah tiga falsafah hukum adat Batak yang cukup adil yang akan menjadi pedoman dalam kehidupan sosial yang hidup dalam tatanan adat sejak lahir sampai meninggal dunia.
1. Somba marhula-hula
Hula-hula dalam adat Batak adalah keluarga laki-laki dari pihak istri atau ibu, yang lazim disebut tunggane oleh suami dan tulang oleh anak. Dalam adat Batak yang paternalistik, yang melakukan peminangan adalah pihak lelaki, sehingga apabila perempuan sering datang ke rumah laki-laki yang bukan saudaranya, disebut bagot tumandangi sige. (artinya, dalam budaya Batak tuak merupakan minuman khas. Tuak diambil dari pohon Bagot (enau). Sumber tuak di pohon Bagot berada pada mayang muda yang di agat. Untuk sampai di mayang diperlukan tangga bambu yang disebut Sige. Sige dibawa oleh orang yang mau mengambil tuak (maragat). Itulah sebabnya, Bagot tidak bisa bergerak, yang datang adalah sige. Sehingga, perempuan yang mendatangi rumah laki-laki dianggap menyalahi adat.
Pihak perempuan pantas dihormati, karena mau memberikan putrinya sebagai istri yang memberi keturunan kepada satu-satu marga. Penghormatan itu tidak hanya diberikan pada tingkat ibu, tetapi sampai kepada tingkat ompung dan seterusnya.
Hula-hula dalam adat Batak akan lebih kelihatan dalam upacara Saurmatua (meninggal setelah semua anak berkeluarga dan mempunyai cucu). Biasanya akan dipanggil satu-persatu, antara lain : Bonaniari, Bonatulang, Tulangrorobot, Tulang, Tunggane, dengan sebutan hula-hula.
Disebutkan, Naso somba marhula-hula, siraraon ma gadong na. Gadong dalam masyarakat Batak dianggap salah satu makanan pokok pengganti nasi, khususnya sebagai sarapan pagi atau bekal/makan selingan waktu kerja (tugo).
Siraraon adalah kondisi ubi jalar (gadong) yang rasanya hambar. Seakan-akan busuk dan isi nya berair. Pernyataan itu mengandung makna, pihak yang tidak menghormati hula-hula akan menemui kesulitan mencari nafkah.
Dalam adat Batak, pihak borulah yang menghormati hula-hula. Di dalam satu wilayah yang dikuasai hula-hula, tanah adat selalu dikuasai oleh hula-hula. Sehingga boru yang tinggal di kampung hula-hulanya akan kesulitan mencari nafkah apabila tidak menghormati hula-hulanya. Misalnya, tanah adat tidak akan diberikan untuk diolah boru yang tidak menghormati hula-hula (baca elek marboru).
2. Manat Mardongan Tubu.
Dongan tubu dalam adat Batak adalah kelompok masyarakat dalam satu rumpun marga. Rumpun marga suku Batak mencapai ratusan marga induk. Silsilah marga-marga Batak hanya diisi oleh satu marga. Namun dalam perkembangannya, marga bisa memecah diri menurut peringkat yang dianggap perlu, walaupun dalam kegiatan adat menyatukan diri. Misalnya: Si Raja Guru Mangaloksa menjadi Hutabarat, Hutagalung, Panggabean, dan Hutatoruan (Tobing dan Hutapea). Atau Toga Sihombing yakni Lumbantoruan, Silaban, Nababan dan Hutasoit.
Dongan Tubu dalam adat batak selalu dimulai dari tingkat pelaksanaan adat bagi tuan rumah atau yang disebut Suhut. Kalau marga A mempunyai upacara adat, yang menjadi pelaksana dalam adat adalah seluruh marga A yang kalau ditarik silsilah ke bawah, belum saling kimpoi.
Gambaran dongan tubu adalah sosok abang dan adik. Secara psikologis dalam kehidupan sehari-hari hubungan antara abang dan adik sangat erat. Namun satu saat hubungan itu akan renggang, bahkan dapat menimbulkan perkelahian. seperti umpama "Angka naso manat mardongan tubu, na tajom ma adopanna'. Ungkapan itu mengingatkan, na mardongan tubu (yang semarga) potensil pada suatu pertikaian. Pertikaian yang sering berakhir dengan adu fisik.
Dalam adat Batak, ada istilah panombol atau parhata yang menetapkan perwakilan suhut (tuan rumah) dalam adat yang dilaksanakan. Itulah sebabnya, untuk merencanakan suatu adat (pesta kimpoi atau kematian) namardongan tubu selalu membicarakannya terlebih dahulu. Hal itu berguna untuk menghindarkan kesalahan-kesalahan dalam pelaksanaan adat. Umumnya, Panombol atau parhata diambil setingkat di bawah dan/atau setingkat di atas marga yang bersangkutan.
3. Elek Marboru
Boru ialah kelompok orang dari saudara perempuan kita, dan pihak marga suaminya atau keluarga perempuan dari marga kita. Dalam kehidupan sehari-hari sering kita dengar istilah elek marboru yang artinya agar saling mengasihi supaya mendapat berkat(pasu-pasu). Istilah boru dalam adat batak tidak memandang status, jabatan, kekayaan oleh sebab itu mungkin saja seorang pejabat harus sibuk dalam suatu pesta adat batak karena posisinya saat itu sebagai boru.
Pada hakikatnya setiap laki-laki dalam adat batak mempunyai 3 status yang berbeda pada tempat atau adat yg diselenggarakan misalnya: waktu anak dari saudara perempuannya menikah maka posisinya sebagai Hula-hula, dan sebaliknya jika marga dari istrinya mengadakan pesta adat, maka posisinya sebagai boru dan sebagai dongan tubu saat teman semarganya melakukan pesta.
UMPASA
Kehidupan adat orang batak tidak terlepas dari Peribahasa (Umpasa) yang terdiri dari 2 macam sbb:
Umpama/umpasa adong do na jempek jala adong do na ganjang.
Contoh ni umpama na jempek ima " SISOLI-SOLI DO ADAT, SIADAPARI GOGO",
Ia umpama na ganjang tarbagi dua doi, parjolo do jolo tudosan, umpe i asa isi ni umpama i na sasintongna,
contoh ni umpama na ganjang ima
" ANDOR HALUMPANG MA PATOGU-TOGU LOMBU;
" SAI NANGNANG MA I SARIMATUA SAHAT RO DI NA PAIRING-IRING PAHOMPU"
HATA PASU-PASU
* Janji urat ni eme tu laklak ni simarlasuna,
Adat na denggan na so ra sega,
uhum na uli na so ra muba i,
asa manumpak ma Tuhanta i
sinur ma pinahan gabe na niula jala horas jolma.
* Sai marrongkap mai songon bagot,
marsibar songon ambalang,
jala sai masigomgoman ma tondi ni nasida tu na tama.
* Dangka ni hariara ma pinangait-ngaithon,
tubuma dihamu anak dohot boru,
sai unang ma panahit-nahithon.
* Balintang ma pagabe tumandakhon sitadoan,
saut do hamu gabe asal ma tontong masipaolo-oloan.
* Dangir-dangir ni batu ma hamu,
pandakdahan ni simbora,
Gabe do hamu jala sarimatua asal ma sai marsada ni roha.
* Ai na tinapu salaon, salaon situa-tua,
Denggan ma hamu masianju-anjuan asa saut gabe jala sarimatua.
* Sai situbu laklak ma hamu situbu singkoru di dolok ni purbatua,
sai tubuan anak ma hamu tubuan boru, donganmuna sarimatua.
* Hariara na bolon bahen parlape-lapean,
Sai tubu ma di hamu anak dohot boru na bolas pangunsandean.
* Bagot na mandung-dung tu pilo-pilo marajar,
Tading ma antong na lungun, sai roma na jagar.
* Sahat-sahat ni soluma sahat tu bortean,
Sahat ma hamu tu parhorasan, sahat tu panggaben.
ANGKA UMPAMA NA MARRAGAM
* Tuat ma na sian dolok martungkot salagundi,
adat ni ompunta sijolo-jolo tubu siihuttonon ni na di pudi.
* Sinuan bulu sibahen nalas,
Sinuan uhum sibaen na horas.
* Muba dolok muba duhutna,
muba luat sai adong do muba adatna.
* Eme na masak di gagat ursa ,
ia i namasa ima di ula.
* Aek godang aek laut,
dos niroha sibahen nasaut
* Sori manungkun sori mandapot,
sai matua marpanungkun tu na nidapot.
* Tangan do botohon, ujungna jari-jari,
Bangko nihata si dohonon, asal ma jumolo marsatabi.
* Ramba na poso na so tubuan lata,
halak na poso na so umboto hata.
* Tampuk ni sibaganding di dolok ni pangiringan,
horas ma hamu na marhaha maranggi, sai masipairing-iringan.
* Bola-bola ni tangan, sitongka i bolahononhon,
bola-bola ni halak, sitongka i tangihononhon.
* Tinallik randorung bontar gotana,
Dos do anak dohot boru nang pe pulik margana,
ai dompak marmeme anak, dompak do tong marmeme boru,
andung ni anak sabulan di dalan, andung ni boru sataon.
* Habang leang-leang songgop tu parapian,
Bolak ni rosu angka na marpariban,
sai masitopot-topotan songon pidong leang-leang.
* Na niida ni mata paula so niida,
na binege ni pinggol paula so ni bege.
Sinuan bulu mambahen las ,
Sinuan partuturan sibahen horas
Si dua uli songon na mangan poga,
malum sahit bosur butuha
Giringgiring gostagosta,
sai tibu ma hamu mangiringiring huhut mangompaompa
Rundut biur ni eme mambahen tu porngisna,
masijaitan andor ni gadong mambahen tu ramosna.
Hotang binebebebe, hotang pinulospulos
unang iba mandele, ai godang do tudostudos
Tumbur ni pangkat tu tumbur ni hotang
tu si hamu mangalangka sai di si ma hamu dapotan
Hotang hotari, hotang pulogos
gogo ma hamu mansari asa dao pogos
Hotang do bahen hirang, laho mandurung porapora
sai dao ma nian hamu na sirang, alai lam balga ma holong ni roha
Hotang diparapara, ijuk di parlabian
sai dao ma na sa mara, jala sai ro ma parsaulian
Sidangka ni arirang na so tupa sirang,
di ginjang ia arirang, di toru ia panggongonan.
badan mu na ma na so ra sirang, tondi mu sai masigomgoman
Bintang na rumiris ombun na sumorop
anak pe di hamu riris, boru pe antong torop
Bona ni aek puli, di dolok Sitapongan,
sai ro ma tu hamu angka na uli, songon i nang pansamotan
Marasar sihosari di tombak ni panggulangan
sai halak na gogoma hamu mansari jala parpomparan sibulangbulangan
Agia pe lapa-lapa asal di toru ni sobuan
agia pe malapalap asal ma di hangoluan,
ai sai na boi do partalaga gabe parjujuon
Ulos lobulobu marrambu ho ditongatonga
tibu ma ho ito dolidoli, jala mambahen si las ni roha
Ulos lobulobu marrambu ho ditongatonga
sinok ma modom ho anggi, suman tu boru ni namora
MANGULOSI
FILSAFAT MANGULOSI & JENIS-JENIS ULOS
Mangulosi adalah salah satu hal yang teramat penting dalam adat Batak. Kenapa begitu dan darimana semua ini bermula ?
Beginilah filsafatnya, Dulu para nenek moyang kita selalu berusaha untuk menghangatkan tubuhnya dengan berbagai cara untuk kesehatan dan kenyamanan. Karena, para leluhur kita hidupnya di desa yang dulu disebut huta yang hanya di batasi dengan bambu dan dikelilingi pohon-pohonan , apalagi dengan hembusan angin dari pesisir Danau Toba tentu saja suhunya sangat dingin dan leluhur kita selalu mencari akal untuk menciptakan rasa hangat yang ideal.
Satu contohnya bisa kita lihat dari umpasa ini :
'Sinuan bulu mambahen las ,
Sinuan partuturan sibahen horas'
Itulah sebabnya di kampung kita banyak sekali terdapat tanaman bambu = bulu. Selain dimaksudkan untuk menangkal musuh dan ancaman hewan buas, bambu tadi ternyata sengaja dibuat untuk menciptakan rasa hangat melingkupi rumah sekelilingnya.
Leluhur kita menyebutkan bahwa ada 3 unsur kehidupan ; darah, nafas, dan rasa hangat. Hangat dalam bahasa kita adalah ' las '. Kita tentu mengerti ucapan semacam ' las roha '..adalah ungkapan yang menggambarkan rasa sukacita yang dalam. Dari sini, kita makin paham, kehangatan adalah hal yang teramat di inginkan bangsa kita.
Dulu, leluhur mengandalkan sinar matahari dan perapian sebagai pencipta rasa hangat. Tapi setelah dipikir-pikir...matahari itu datang dan pergi tanpa bisa dikontrol, lagipula datangnya siang hari. Sementara malam hari dinginnya minta ampun. Api tidak praktis digunakan waktu tidur karena resikonya besar.
Akhirnya ditemukanlah Ulos. Jangan heran kalau ulos yang kita kenal sekarang dulunya dipakai tidur lho. Tapi jangan salah juga, dulu..kualitasnya jauh lebih tinggi, tebal, lembut, dan motifnya sangat artistik.
Sejak saat itu, ulos makin digemari karena praktis. Kemana saja mereka melangkah, selalu ada ulos yang siap membalut tubuhnya dalam kehangatan. Ulospun jadi kebutuhan yang vital, karena sekaligus juga dijadikan bahan pakaian yang indah = uli. Kalau ada pertemuan kepala-kepala kampung, seluruh peserta melilitkan ulos di tubuhnya.
Sedemikian pentingnya ulos ini untuk kehidupan sehari-hari, sehingga para leluhur kita selalu memilih ulos sebagai hadiah atau pemberian untuk orang-orang yang mereka sayangi.
Nyatalah sekarang umpasa yang mengatakan :
' Si dua uli songon na mangan poga,
malum sahit bosur butuha '
Akhirnya, ulos pun masuk dalam adat yang sakral dan dibuat aturannya. Kita harus paham aturan-aturan yang dimaksud :
- Ulos hanya diberikan kepada pihak kerabat yang tingkat partuturannya lebih rendah. Misal: dari hulahula untuk parboruan; dari orangtua untuk anak-anaknya; dari haha untuk angginya. Jadi kita tak akan pernah menemukan orang Batak yang mangulosi orang tuanya sendiri atau ada seorang adik yang tanpa perasaan bersalah mangulosi abangnya. Tak ada itu.
- Karena ulos telah dibuat menjadi beberapa macam, sudah barang tentu tidaklah sembarangan memberi ulos (mangulosi) kepada orang-orang. Misalnya Ragidup sebagai ulos panggomgom untuk ina ni hela, Sibolang atau Ragihotang sebagai ulos pansamot untuk ama ni hela.
Cara pemakaian ulos ada 3 :
1. Siabithononton ( dipakai ) : Ragidup, Sibolang, Runjat, Djobit, Simarindjamisi, Ragi Pangko.
2. Sihadanghononton ( dililit di kepala atau bisa juga ditengteng ) : Sirara, Sumbat, Bolean, Mangiring, Surisuri, Sadum.
3. Sitalitalihononton ( dililit di pinggang ) : Tumtuman, Mangiring, Padangrusa.
Jaman sekarang, terutama Batak yang sudah tinggal di
Berikut adalah jenis-jenis ulos yang biasa digunakan dalam acara adat sekarang ini. Jadi kalau ada jenis ulos yang anda ketahui, tapi tidak tercantum disini, anda boleh menambahi berdasarkan fakta dan persetujuan kita semua. Kita memang kehilangan lecture asli mengenai ragam ulos. Tanpa ada kesan menghakimi, saya menduga, orang Belanda telah mencurinya ( Probably ).
1. MANGIRING
Sering diberikan sebagai ulos parompa = gendongan anak, juga dihadiahkan kepada dua kekasih ataupun pasangan muda, dengan harapan, anak yang akan memakai parompa ini akan terus dalam iringan oangtuanya.
Kepada pasangan pengantin, ulos ini diberikan sembari mengucapkan sebait umpasa :
Giringgiring gostagosta,
sai tibu ma hamu mangiringiring huhut mangompaompa '
Cara memakainya : sitalihononton atau sinampesampehon = dijadikan selendang.
2. MANGIRING PINARSUNGSANG
Ulos ini diberikan kalau ada acara adat yang masisuharan/marsungsang = kacau. Misalkan, ada pihak yang semula adalah hulahula kita, tapi kemudian menjadi pihak boru karena alasan pernikahan. Ulos inilah yang patut diberikan kepada pengantin sembari berucap :
Rundut biur ni eme mambahen tu porngisna,
masijaitan andor ni gadong mambahen tu ramosna '
artinya, biarlah partuturon jadi sedikit kacau kalau itu demi kebaikan. Lihatlah, betapa mulia adat kita Batak. Seharusnya kita bangga.
Cara memakainya : sitalihononton atau sinampesampehon.
3. BINTANG MAROTUR/MARATUR
Beginilah leluhur kita menyebut ulos ini : On ma ulos ni Siboru Habonaran, Siboru Deak Parujar, mula ni panggantion dohot parsorhaon, pargantang pamonori, na so boi lobi na so boi hurang. Artinya adalah kebijaksanaan.
Sekedar info, Deak Parujar adalah tokoh Batak paling bijaksana dan ini akan saya rampungkan dalam kisah tarombo.
Ulos ini juga disebut sebagai siatur maranak, siatur marboru, siatur hagabeon, siatur hamoraon.
Cara memakainya : sitalihononton atau sinampesampehon.
4. GODANG
Disebut juga Sadum atau Sadum Angkola. Indah nian ulos ini, dan harganya pun cukup indah. Walaupun derajat ulos ini masih di bawah Ragidup, kalau masalah harga ulos ini jangan diadu.
Ulos godang kita berikan kepada anak kesayangan kita, yang membawa sukacita dalam keluarga. Inilah yang diharapkan dengan adanya pemberian ulos ini, supaya kelak si anak makin membawa hal-hal kebajikan yang godang = banyak, mencapai apa yng dicita-citakannya dan mendapat berkat yang godang pula dari Debata = Tuhan.
Cara memakainya : dibuat baju, sinampesampehon
5. RAGIHOTANG
Ulos inilah yang umumnya lebih banyak diuloshon = diberikan saat ini. Kelihatan sangat anggun saat ulos ini diuloshon = dipakaikan = disandangkan, terlebih kalau jenisnya dari motif yang paling bagus. Ragihotang terbaik disebut ' Potir si na gok '.
Ada beberapa umpasa yang bisa digunakan ketika manguloshon yang satu ini, yakni
Hotang do ragian, hadanghadangan pansalongan
sihahaan gabe sianggian, molo hurang sinaloan '
Hotang binebebebe, hotang pinulospulos
unang iba mandele, ai godang do tudostudos '
Tumbur ni pangkat tu tumbur ni hotang
tu si hamu mangalangka sai di si ma hamu dapotan '
Hotang hotari, hotang pulogos
gogo ma hamu mansari asa dao pogos '
Hotang do bahen hirang, laho mandurung porapora
sai dao ma nian hamu na sirang, alai lam balga ma holong ni roha '
Hotang diparapara, ijuk di parlabian
sai dao ma na sa mara, jala sai ro ma parsaulian '
Cara memakainya : dibuat baju, sinampesampehon
6. SITOLUNTUHO/SITOLUTUHO
1. Pasupasu asa sai masihaholongan jala rap saur matua :
Sidangka ni arirang na so tupa sirang,
di ginjang ia arirang, di toru ia panggongonan.
badan mu na ma na so ra sirang, tondi mu sai masigomgoman '
2. Pasupasu hagabeon :
Bintang na rumiris ombun na sumorop
anak pe di hamu riris, boru pe antong torop '
3. Pasupasu pansamotan :
Bona ni aek puli, di dolok Sitapongan,
sai ro ma tu hamu angka na uli, songon i nang pansamotan '
Cara memakainya : sinampesampehon.
7. BOLEAN
Ulos ini diberikan kepada anak yang kehilangan orangtua nya. Bolean = membelaibelai, dimaksudkan untuk mangapuli = membelai hati si anak agar selalu tabah.
Cara memakainya : sinampesampehon.
8. SIBOLANG
Disebut juga sibulang dan diberikan kepada orang sibulang = orang yang dihormati karena jasanya. Misalkan ulubalang yang mengalahkan musuh, atau yang bisa membinasakan binatang pemangsa yang mengganggu.
Jaman sekarang, ulos ini diberikan kepada amang ni hela dan ulos ini disebut sebagai ulos pansamot na sumintahon supaya amang ni hela tadi bisa menjadi tempat bersandar dan berlindung, na gogo mansamot jala parpomparan sibulangbulangan :
Marasar sihosari di tombak ni panggulangan
sai halak na gogoma hamu mansari jala parpomparan sibulangbulangan '
Ulos sibolang juga sering dipakai untuk menghadiri upacara kematian. Sekaligus ulos ini dililitkan di kepala dari namabalu = isteri/suami yang ditinggalkan.
Cara memakainya : dibuat baju, sinampesampehon
9. RAGIDUP
Betapa sulit dan lelahnya membuat ulos ini, karena motifnya sungguh rumit. Dan memang inilah ulos paling tinggi derajatnya dalam adat kita Batak. Kalau kita cermati rupa gorga dalam ulos ini, seolah-olah semuanya hidup dan bernyawa. Itu sebabnya dinamakan Ragidup ( aragi = hidup ). Inilah ulos simbol kehidupan. Umumnya orang Batak ingin hidup dalam waktu yang lama. Orang Batak tak takut hidup dalam kemiskinan yang mendera untuk terus berjuang demi hidup. Kita adalah survivors. itu sebabnya ada umpasa seperti berikut :
Agia pe lapalapa asal di toru ni sobuan
agia pe malapalap asal ma di hangoluan,
ai sai na boi do partalaga gabe parjujuon '
Bagian-bagian dari ulos ragidup, namanya dan artinya :
-
- Dua sisi tadi mengapit tiga bagian dan disebut ' badan '. Bagian paling ujung dimana bentuknya kelihatan sama disebut ' ingananni pinarhalak '. Ingananni pinarhalak terbagi dua lagi , yakni ingananni pinarhalak baoa dan ingananni pinarhalak boruboru.
bagian ' badan ' tadi warnanya merah kehitaman dan ditingkahi garis-garis putih yang disebut ' honda '. Ingananni pinarhalak tadi adalah simbol hagabeon, maranak dan marboru. Masih terdapat tiga simbol lagi di
1. Antinganting, adalah simbol hamoraon, karena antinganting biasanya terbuat dari emas.
2. Sigumang = beruang, yakni simbol kemakmuran. Beruang adalah binatang yang bekerja tepat dan efisien, tidak banyak aksi.
3. Batu ni ansimun, melambangkan hahipason ( ansimun sipalambok, taoar sipangalumi ).
Di celah ketiga simbol ini, ada lagi macam bunga yang disebut 'ipon', dan di celah iponipon tadi ada yang disebut dengan 'rasianna'.
Cara mangarasi = memeriksa Ragidup yang baik :
1. Ulos itu kelihatan jernih
2. Tenunannya rapi dan ukurannya benar ( Martha Ulos mungkin tahu, atau Belanda ? )
3. Honda harus berjumlah ganjil.
4. Jumlah ipon harus benar.
Cara memakainya : dibuat baju, sinampesampehon.
10. RAGIDUP SILINGGOM
Perbedaan ulos ini dengan Ragidup biasa adalah bagian ' badan '. Ulos ini punya badan yang kelihatan lebih linggom = gelap. Ulos inilah yang paling tepat diberikan kepada anak yang punya pangkat dan punya kuasa, dengan maksud, kita bisa marlinggom = berlindung di bawah kebijaksanaannya. Ini bisa juga kita berikan kepada petinggi yang mendatangi kampung kita.
Ragidup Silinggom tidak diperjual belikan. Tapi entahlah ada pihak tertentu yang melakukannya. Sebenarnya, ulos jenis ini hanya akan ditenun bila ada pemesannya.
Cara memakainya : sinampesampehon.
11. PINUSSAAN
Masih termasuk Ragidup. Cara memakainya pun sama.
12. SURISURI/TOGUTOGU/LOBULOBU
Ini ulos yang eksentrik. Rambu-rambunya tidak dipotong hingga kedua ujungnya bersatu sebagaimana layaknya kain sarung. Dan hanya wanita lah yang memakai ulos ini. Dimaksudkan, agar mereka kelihatan sopan karena ini pakaian rumahan. Jenis ini juga paling banyak dijadikan parompa.
Dinamakan lobulobu supaya segala kebaikan marlobu = masuk ke rumah orang yang memakainya.
Apabila ada boruboru yang menggendong ibotonya = adik laki-laki yang kecil, dia akan bersenandung :
' Ulos lobulobu marrambu ho ditongatonga
tibu ma ho ito dolidoli, jala mambahen si las ni roha '
Apabila dia menggendong adik perempuannya, dia akan bersenandung :
' Ulos lobulobu marrambu ho ditongatonga
sinok ma modom ho anggi, suman tu boru ni namora '
Ulos lebih lanjut
Pada jaman dahulu sebelum orang batak mengenal tekstil buatan luar, ulos adalah pakaian sehari-hari. Bila dipakai laki-laki bagian atasnya disebut "hande-hande" sedang bagian bawah disebut "singkot" kemudian bagian penutup kepala disebut "tali-tali" atau "detar".
Bia dipakai perempuan, bagian bawah hingga batas dada disebut "haen", untuk penutup pungung disebut "hoba-hoba" dan bila dipakai berupa selendang disebut "ampe-ampe" dan yang dipakai sebagai penutup kepala disebut "saong".
Apabila seorang wanita sedang menggendong anak, penutup punggung disebut "hohop-hohop" sedang alat untuk menggendong disebut "parompa".
Sampai sekarang tradisi berpakaian cara ini masih bisa kita lihat didaerah pedalaman Tapanuli.
Tidak semua ulos Batak dapat dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya ulos jugia, ragi hidup, ragi hotang dan runjat. Biasanya adalah simpanan dan hanya dipakai pada waktu tertentu saja.
PROSES PEMBUATAN ULOS BATAK.
Bagi awam dirasa sangat unik. Bahan dasar ulos pada umumnya adalah sama yaitu sejenis benang yang dipintal dari kapas. Yang membedakan sebuah ulos adalah proses pembuatannya. Ini merupakan ukuran penentuan nilai sebuah ulos.
Untuk memberi warna dasar pada sebuah ulos sejenis tumbuhan nila (salaon) dimasukkan kedalam sebuah periuk tanah yang telah diisi air. Tumbuhan ini direndam (digon-gon) berhari-hari hingga gatahnya keluar, lalu diperas dan ampasnya dibuang. Hasilnya ialah cairan berwarna hitam kebiru-biruan yang disebut "itom".
Periuk tanah (palabuan) semula diisi dengan air hujan yang tertampung pada lekuk batu (aek ni nanturge) dicampur dengan air kapur secukupnya. Kemudian cairan yang berwarna hitam kebiru-biruan tadi dimasukkan, lalu diaduk hingga larut. Ini disebut "manggaru". Kedalam cairan inilah benang dicelupkan. Sebelum dicelupkan, benang terlebih dahulu dililit dengan benang lain pada bahagian-bahagian tertentu menurut warna yang diingini, setelah itu proses pencelupan dimulai secara berulang-ulang. Proses ini memakan waktu yang sangat lama bahkan berbulan-bulan dan ada kalahnya ada yang sampai bertahun.
Setelah warna yang diharapkan tercapai, benang tadi kemudian disepuh dengan air lumpur yang dicampur dengan air abu, lalu dimasak hingga mendidih sampai benang tadi kelihatan mengkilat. Ini disebut "mar-sigira" . Biasanya dilakukan pada waktu pagi ditepi kali atau dipinggiran sungai/danau.
Bilamana warna yang diharapkan sudah cukup matang, lilitan benang kemudian dibuka untuk "diunggas" agar benang menjadi kuat. Benang direndam kedalam periuk yang berisi nasi hingga meresap keseluruh benang. Selesai diunggas, benang dikeringkan.
Benang yang sudah kering digulung (dihulhul) setiap jenis warna.
Setelah benang sudah lengkap dalam gulungan setiap jenis warna yang dibutuhkan pekerjaan selanjutnya adalah "mangani". Benang yang sudah selesai diani inilah yang kemudian masuk proses penenunan.
Bila kita memperhatikan ulos Batak secara teliti, akan kelihatan bahwa cara pembuatannya yang tergolong primitif bernilai seni yang sangat tinggi.
Seperti telah diutarakan diatas, ulos Batak mempunyai bahan
Tingkatan ini diukur dari jumlah lidi yang dipakai untak memberi warna motip yang diinginkan. Tingkatan yang tinggi ialah bila dia telah mampu mempergunakan tujuh buah lidi atau disebut "marsipitu lili". Yang bersangkutan telah dianggap cukup mampu bertenun segala jenis ulos Batak.
JENIS ULOS
1. Ulos Jugia.
Ulos ini disebut juga "ulos naso ra pipot' atau "pinunsaan". Biasanya ulos yang harga dan nilainya sangat mahal dalam suku Batak disebut ulos "homitan" yang disimpan di "hombung" atau "parmonang-monangan " (berupa Iemari pada jaman dulu kala). Menurut kepercayaan orang Batak, ulos ini tidak diperbolehkan dipakai sembarangan kecuali orang yang sudah "saur matua" atau kata lain "naung gabe" (orang tua yang sudah mempunyai cucu dari anaknya laki-laki dan perempuan).
Selama masih ada anaknya yang belum kawin atau belum mempunyai keturuan walaupun telah mempunyai cucu dari sebahagian anaknya, orang tua tersebut belum bisa disebut atau digolongkan dengan tingkalan saur matua. Hanya orang yang disebut "na gabe" sajalah yang berhak memakai ulos tersebut. Jadi ukuran hagabeon dalam adat suku Batak bukanlah ditinjau dari kedudukan pangkat maupun kekayaan.
Tingginya aturan pemakaian jenis ulos ini menyebabkan ulos merupakan benda langka hingga banyak orang yang tidak mengenalnya. Ulos sering menjadi barang warisan orang tua kepada anaknya dan nialainya sama dengan "sitoppi" (emas yang dipakai oleh istri raja pada waktu pesta) yang ukurannya sama dengan ukuran padi yang disepakati dan tentu jumlah besar.
2. Ulos Ragi Hidup.
Ulos ini setingkat dibawah Ulos Jugia. Banyak orang beranggapan ulos ini adalah yang paling tinggi nilanya, mengingat ulos ini memasyarakat pemakainya dalam upacara adat Batak .
Ulos ini dapat dipakai untuk berbagai keperluan pada upacara duka cita maupun upacara suka cita. Dan juga dapat dipakai oleh Raja-raja maupun oleh masyarakat pertengahan. Pada jaman dahulu dipakai juga untuk "mangupa tondi" (mengukuhkan semangat) seorang anak yang baru lahir. Ulos ini juga dipakai oleh suhut si habolonan (tuan rumah). Ini yang membedakannya dengan suhut yang lain, yang dalam versi "Dalihan Na Tolu" disebut dongan tubu.
Dalam system kekeluargaan orang Batak. Kelompok satu marga ( dongan tabu) adalah "kelompok sisada raga-raga sisada somba" terhadap kelompok marga lain.
Dengan memakai ulos ini (bagi undangan lainnya) akan jelas kelihatan siapa sebenarnya tuan rumah.
Pembuatan ulos ini berbeda dengan pembuatan ulos lain, sebab ulos ini dapat dikerjakan secara gotong royong. Dengan kata lain, dikerjakan secara terpisah dengan orang yang berbeda. Kedua sisi ulos kiri dan kanan (ambi) dikerjakan oleh dua orang. Kepala ulos atas bawah (tinorpa) dikerjakan oleh dua orang pula, sedangkan bagian tengah atau badan ulos (tor) dikerjakan satu orang. Sehingga seluruhnya dikerjakan
Mengapa harus dikerjakan cara demikian? Mengerjakan ulos ini harus selesai dalam waktu tertentu menurut "hatiha" Batak (kalender Batak). Bila dimulai Artia (hari pertama) selesai di
Bila seorang Tua meninggal dunia, yang memakai ulos ini ialah anak yang sulung sedang yang lainnya memakai ulos "sibolang". Ulos ini juga sangat baik bila diberikan sebagai ulos "Panggabei" (Ulos Saur Matua) kepada cucu dari anak yang meninggal. Pada saat itu nilai ulos Ragi Hidup sama dengan ulos jugia.
Pada upacara perkawinan, ulos ini biasanya diberikan sebagai ulos "Pansamot" (untuk orang tua pengantin laki-laki) dan ulos ini tidak bisa diberikan kepada pengantin oleh siapa pun. Dan didaerah Simalungun ulos Ragi Hidup tidak boleh dipakai oleh kaum wanita.
3. Ragi Hotang.
Ulos ini biasanya diberikan kepada sepasang pengantin yang disebut sebagai ulos Hela (hela = menantu). Dengan pemberian ulos ini dimaksudkan agar ikatan batin seperti rotan (hotang).
Cara pemberiannya kepada kedua pengantin ialah disampirkan dari sebelah kanan pengantin, ujungnya dipegang dengan tangan kanan Iaki-laki, dan ujung sebelah kiri oleh perempuan lalu disatukan ditengah dada seperti terikat.
Pada jaman dahulu rotan adalah tali pengikat sebuah benda yang dianggap paling kuat dan ampuh. Inilah yang dilambangkan oleh ragi (corak) tersebut.
4. Ulos Sadum.
Ulos ini penuh dengan warna warni yang ceria hingga sangat cocok dipakai untuk suasana suka cita. Di Tapanuli Selatan ulos ini biasanya dipakai sebagai panjangki/parompa (gendongan) bagi keturunan Daulat Baginda atau Mangaraja. Untuk mengundang (marontang) raja raja, ulos ini dipakai sebagai alas sirih diatas piring besar (pinggan godang burangir/harunduk panyurduan).
Aturan pemakaian ulos ini demikian ketat hingga ada golongan tertentu di Tapanuli Selatan dilarang memakui ulos ini. Begitu indahnya ulos ini sehingga didaerah lain sering dipakai sebagai ulos kenang-kenangan dan bahkan dibuat pula sebagai hiasan dinding. Ulos ini sering pula diberi sebagai kenang kenangan kepada pejabat pejabat yang berkunjung ke daerah.
5. Ulos Runjat.
Ulos ini biasanya dipakai oleh orang kaya atau orang terpandang sebagai ulos "edang-edang" (dipakai pada waktu pergi ke undangan). Ulos ini dapat juga diberikan kepada pengantin oleh keluarga dekat menurut versi (tohonan) Dalihan Natolu di luar ahli baik (diluar hasuhutan bolon), misalnya oleh Tulang (paman), pariban (kakak pengantin perempuan yang sudah kawin), dan pamarai (pakcik pengantin perempuan). Ulos ini juga dapat diberikan pada waktu mengupah-upah dalam acara pesta gembira (ulaon silas ni roha).
Kelima jenis ulos ini adalah merupakan ulos homitan (simpanan) yang hanya kelihatan pada waktu tertentu saja. Karena ulos ini jarang dipakai hingga tidak perlu dicuci dan biasanya cukup dijemur di siang hari pada waktu masa bulan purnama (
6. Ulos Sibolang.
Ulos ini dapat dipakai untuk keperluan duka cita atau suka cita. Untuk keperluan duka cita biasanya dipilih dari jenis warna hitamnya menonjol, sedang bila dalam acara suka cita dipilih dari warna yang putihnya menonjol. Dalam acara duka cita ulos ini paling banyak dipergunakan orang. Untuk ulos saput atau ulos tujung harusnya dari jenis ulos ini dan tidak boleh dari jenis yang lain.
Dalam upacara perkawinan ulos ini biasanya dipakai sebagai "tutup ni ampang" dan juga bisa disandang, akan tetapi dipilih dari jenis yang warnanya putihnya menonjol. Inilah yang disebut "ulos pamontari". Karena ulos ini dapat dipakai untuk segala peristiwa adat maka ulos ini dinilai paling tinggi dari segi adat batak. Harganya relatif murah sehingga dapat dijangkau orang kebanyakan. Hanya saja ulos ini tidak lajim dipakai sebagai ulos pangupa atau parompa.
7. Ulos Suri-suri Ganjang.
Biasanya disebut saja ulos Suri-suri, berhubung coraknya berbentuk sisir memanjang. Dahulu ulos ini diperguakan sebagai ampe-ampe/hande- hande. Pada waktu margondang (memukul gendang) ulos ini dipakai hula-hula menyambut pihak anak boru. Ulos ini juga dapat diberikan sebagai "ulos tondi" kepada pengantin. Ulos ini sering juga dipakai kaum wanita sebagai sabe-sabe.
8. Ulos Mangiring.
Ulos ini mempunyai corak yang saling iring-beriring. Ini melambangkan kesuburan dan kesepakatan. Ulos ini sering diberikan orang tua sebagai ulos parompa kepada cucunya. Seiring dengan pemberian ulos itu kelak akan lahir anak, kemudian lahir pula adik-adiknya sebagai temannya seiring dan sejalan. Ulos ini juga dapat dipakai sebagai pakaian sehari-hari dalam bentuk tali-tali (detar) untuk kaum laki-laki. Bagi kaum wanita juga dapat dipakai sebagai saong (tudung). Pada waktu upacara "mampe goar" (pembaptisan anak) ulos ini juga dapat dipakai sebagai bulang-bulang, diberikan pihak hula-hula kepada menantu. Bila mampe goar untuk anak sulung harus ulos jenis "Bintang maratur".
9. Bintang Maratur.
Ulos ini menggambarkan jejeran bintang yang teratur. Jejeran bintang yang teratur didalam ulos ini menunjukkan orang yang patuh, rukun seia dan sekata dalam ikatan kekeluargaan. Juga dalam hal "sinadongan" (kekayaan) atau hasangapon (kemuliaan) tidak ada yang timpang, semuanya berada dalam tingkatan yang rata-rata sama. Dalam hidup sehari-hari dapat dipakai sebagai hande-hande (ampe-ampe), juga dapat dipakai sebagai tali-tali atau saong. Sedangkan nilai dan fungsinya sama dengan ulos mangiring dan harganya relatif sama.
10. Sitoluntuho- Bolean.
Ulos ini biasanya hanya dipakai sebagai ikat kepala atau selendang wanita. Tidak mempunyai makna adat kecuali bila diberikan kepada seorang anak yang baru lahir sebagai ulos parompa. Jenis ulos ini dapat dipakai sebagai tambahan, yang dalam istilah adat batak dikatakan sebagai ulos panoropi yang diberikan hula-hula kepada boru yang sudah terhitung keluarga jauh. Disebut Sitoluntuho karena raginya/coraknya berjejer tiga, merupakan "tuho" atau "tunggal" yang biasanya dipakai untuk melubang tanah guna menanam benih.
11. Uos Jungkit.
Ulos ini jenis ulos "nanidondang" atau ulos paruda (permata). Purada atau permata merupakan penghias dari ulos tersebut. Dahulu ulos ini dipakai oleh para anak gadis dan keluarga Raja-raja untuk hoba-hoba yang dipakai hingga dada. Juga dipakai pada waktu menerima tamu pembesar atau pada waktu kawin.
Pada waktu dahulu kala purada atau permata ini dibawa oleh saudagar-saudagar dari
12. Ulos Lobu-Lobu.
Jenis ulos ini biasanya dipesan langsung oleh orang yang memerlukannya, karena ulos ini mempunyai keperluan yang sangat khusus, terutama orang yang sering dirundung kemalangan (kematian anak). Karenanya tidak pernah diperdagangkan atau disimpan diparmonang- monangan, itulah sebabnya orang jarang mengenal ulos ini. Bentuknya seperti kain sarung dan rambunya tidak boleh dipotong. Ulos ini juga disebut ulos "giun hinarharan". Jaman dahulu para orang tua sering memberikan ulos ini kepada anaknya yang sedang mengandung (hamil tua). Tujuannya agar nantinya anak yang dikandung lahir dengan selamat.
Masih banyak lagi macam-macam corak dan nama-nama ulos antara lain: Ragi Panai, Ragi Hatirangga, Ragi Ambasang, Ragi Sidos-dos, Ragi Sampuborna, Ragi Siattar, Ragi Sapot, Ragi si Imput ni.Hirik, Ulos Bugis, Ulos Padang Rusa, Ulos Simata, Ulos Happu, Ulos Tukku, Ulos Gipul, Ulos Takkup, dan banyak lagi nama-nama ulos yang belum disebut disini. Menurut orang-orang tua jenis ulos mencapai 57 jenis.
Seperti telah diterangkan, ulos mempunyai nilai yang sangat tinggi dalam upacara adat batak, karena itu tidak mungkin kita bicarakan adat batak tanpa membicarakan hiou, ois, obit godang atau uis yang kesemuanya adalah merupakan identintas orang Batak.
PENERIMAAN ULOS
Menurut tata cara adat batak, setiap orang akan menerima minimum 3 macam ulos sejak lahir hingga akhir hayatnya. Inilah yang disebut ulos "na marsintuhu" (ulos keharusan) sesuai dengan falsafah dalihan na tolu. Pertama diterima sewaktu dia baru lahir disebut ulos "parompa" dahulu dikenal dengan ulos paralo-alo tondi. Yang kedua diterima pada waktu dia memasuki ambang kehidupan baru (kawin) yang diterima dalam bentuk ulos "hela", dahulu disebut, ulos "marjabu" bagi kedua pengantin.
Seterusnya yang ketiga adalah ulos yang diterima sewaktu dia meninggal. dunia disebut ulos "saput".
I. Ulos Saat Kelahiran.
Perlu diperhatikan pada gelar ompu… bila gelar tersebut mempunyai kata sisipan "si", maka gelar yang diperoleh itu diperdapat dari anak sulung perempuan (ompung bao).
Bilamana-tidak mendapat kata sisipan si… maka gelar ompu yang diterimanya berasal dari anak sulung laki-laki (Ompung Suhut).
Untuk point pertama, maka pihak hula-hula hanya menyediakan dua buah ulos yaitu ulos parompa untuk sianak dan ulos pargomgom mampe goar untuk ayahnya. Untuk sianak sebagai parompa dapat diberikan ulos mangiring dan untuk ayahnya dapat diberikan ulos suri-suri ganjang atau ulos sitoluntuho.
Untuk point kedua, hula-hula harus menyediakan ulos sebanyak tiga buah, yaitu ulos parompa untuk sianak, ulos pargomgom untuk ayahnya, dan ulos bulang-bulang untuk ompungnya.
Seiring dengan pemberian ulos selalu disampaikan kata-kata yang mengandung harapan agar kiranya nama anak yang ditebalkan dan setelah dianya nanti besar dapat memperoleh berkah dari Tuhan Yang Maha Esa, dan hak ini disampaikan melalui umpama (pantun) dan sejalan dengan itu pihak hula-hula memberikan ulos dari jenis ulos bintang maratur, tetapi bila hanya bila sekedar memberi ulos parompa boleh saja ulos mangiring.
II. Ulos Saat Perkawinan
Dalam waktu upacara perkawinan, pihak hula-hula harus dapat menyediakan ulos "si tot ni pansa" yaitu; 1. Ulos marjabu (pengantin), 2. Ulos pansamot/pargomgom untuk orang tua pengantin laki-laki, 3. Ulos pamarai diberikan pada saudara yang lebih tua dari pengantin laki-laki atau saudara kandung ayah, 4. Ulos simolohon diberikan kepada iboto (adek/kakak) pengantin laki-laki. Bila belum ada yang menikah maka ulos ini dapat diberikan kepada iboto dari ayahnya. Ulos yang disebut sesuai dengan ketentuan diatas adalah ulos yang harus disediakan oleh pihak hula-hula (orang tua pengantin perempuan).
Adapun ulos tutup ni ampang diterima oleh boru diampuan hanya bila perkawinan tersebut dilakukan ditempat pihak keluarga perempuan (dialap jual). Bila perkawinan tersebut dilakukan ditempat keluarga laki-laki (ditaruhon jual) ulos tutup ni ampang tidak diberikan.
Sering kita melihat begitu banyak ulos yang diberikan kepada pengantin oleh keluarga dekat. Dahulu ulos inilah yang disebut "ragi-ragi ni sinamot." Biasanya yang mendapat ragi ni sinamot (menerima sebahagian dari sinamot) memberi ulos sebagai imbalannya. Dalam umpama (pantun) dalam suku Batak disebut "malo manapol ingkon mananggal". Pantun ini mengandung pengertian, orang Batak tidak mau terutang adat.
Tetapi dengan adanya istilah rambu pinudun yang dimaksudkan semula untuk mempersingkat waktu, berakibat kaburnya siapa penerima goli-goli dari ragi-ragi ni sinamot. Timbul kedudukan yang tidak sepatutnya (margoli-goli) sehingga yang pantas digantikan undangan umum (ale-ale). Dengan dalih istilah "ulos holong" memberikan pula ulos kepada pengantin.
Tata cara pemberian.
Sebuah ulos (biasanya ragi hotang) disediakan untuk pengantin oleh hula-hula. Orang tua pengantin perempuan langsung memberikan (manguloshon) kepada kedua pengantin yang disebut "ulos marjabu". Apabila orang tua pihak perempuan diwakilkan kepada keluarga dekat, maka dia berhak memberikan ulos kepada pengantin, akan tetapi bila orang tua laki-laki yang diwakilkan, maka ulos passamot harus diterima secara terlipat.
Sedangkan ulos pargomgom (untuk pangamai) dapat diterima menurut tata cara yang biasa, dan pada peristiwa ini harus disediakan ulos sebanyak dua helai (ulos pasamot dan ulos pargomgom). Dalam penyampaian ulos biasanya diiringi dengan berbagai pantun (umpasa) dan berbagai kata-kata yang mengandung berkah (pasu-pasu). Setelah diulosi dilanjutkan penyampaian beras pasu-pasu (boras sipir ni tondi) ditaburkan termasuk kepada umum dengan mengucapkan "h o r a s" tiga kali.
Selanjutnya menyusul pemberian ulos kepada orang tua pengantin laki-laki atau yang mewakilinya dalam hal ini seiring dengan penyampaian umpasa dan kata-kata petuah. Sesudah itu berjalanlah pemberian ulos si tot ni pansa kepada pamarai dan simolohon. Biasanya pemberian ini disampaikan oleh suhut paidua (keluarga/turunan saudara nenek).
Setelah ulos lainnya berjalan maka sebagai penutup adalah pemberian ulos dari tulang (paman) pengantin laki-laki.
Tata cara urutan pemberian ulos adalah sebagai berikut; 1. Mula-mula yang memberikan ulos adalah orang tua pengantin perempuan, 2. Baru disusul oleh pihak tulang pengantin perempuan termasuk tulang rorobot, 3. Kemudian disusul pihak dongan sabutuha dari orang tua pengantin perempuan yang disebut paidua (pamarai), 4. Kemudian disusul oleh oleh pariban yaitu boru dari orang tua pengantin perempuan, 5. Dan yang terakhir adalah tulang pengantin laki-laki, setelah kepadanya diberikan bahagian dari sinamot yang diterima parboru dari paranak dari jumlah yang disepakati sebanyak 2/3 dari pihak parboru dan 1/3 dari paranak. Bahagian ini disampaikan oleh orang tua pengantin perempuan kepada tulang/paman pengantin laki-laki, inilah yang disebut "tintin marangkup".
III. Ulos Saat Kematian.
Ulos yang ketiga dan yang terakhir yang diberikan kepada seseorang ialah ulos yang diterima pada waktu dia meninggal dunia. Tingkat (status memurut umur dan turunan) seseorang menentukan jenis ulos yang dapat diterimanya.
Jika seseorang mati muda (mate hadirianna) maka ulos yang diterimanya, ialah ulos yang disebut "parolang-olangan" biasanya dari jenis parompa. Bila seseorng meninggal sesudah berkeluarga (matipul ulu, marompas tataring) maka kepadanya diberi ulos "saput" dan yang ditinggal (duda, janda) diberikan ulos "tujung".
Bila yang mati orang tua yang sudah lengkap ditinjau dari segi keturunan dan keadaan (sari/saur matua) maka kepadanya diberikan ulos "Panggabei".
Ulos "jugia" hanya dapat diberikan kepada orang tua yang keturunannya belum ada yang meninggal (martilaha martua).
Khusus tentang ulos saput dan tujung perlu ditegaskan tentang pemberiannya. Menurut para orang tua, yang memberikan saput ialah pihak "tulang", sebagai bukti bahwa tulang masih tetap ada hubungannya dengan kemenakan (berenya). Sedang ulos tujung diberikan hula-hula, dan hal ini penting untuk jangan lagi terulang pemberian yang salah.
TATA CARA PEMBERIANNYA.
Bila yang meninggal seorang anak (belum berkeluarga) maka tidak ada acara pemberian saput. Bila yang meninggal adalah orang yang sudah berkeluarga, setelah hula-hula mendengar khabar tentang ini, disediakanlah sebuah ulos untuk tujung dan pihak tulang menyediakan ulos saput. Pemberiannya diiringi kata-kata turut berduka cita (marhabot ni roha). Setelah beberapa hari berselang, dilanjutkan dengan acara membuka (mengungkap) tujung yang dilakukan pihak hula-hula. Setelah mayat dikubur, pada saat itu juga ada dilaksanakan mengungkap tujung, tergantung kesepakatan kedua belah pihak.
Hula-hula menyediakan beras dipiring (sipir ni tondi), air bersih untuk cuci muka (aek parsuapan), air putih satu gelas (aek sitio-tio). Pelaksanaan acara mengungkap tujung umumnya dibuat pada waktu pagi (panangkok ni mata ni ari). Setelah pihak hula-hula membuka tujung dari yang balu, dilanjutkan dengan mencuci muka (marsuap). Anak-anak yang ditinggalkan juga ikut dicuci mukanya, kemudian dilanjutkan dengan penaburan beras diatas kepala yang balu dan anak-anaknya.
MEMBERI ULOS PANGGABEI.
Bila seseorang orang tua yang sari/saur matua meninggal dunia, maka seluruh hula-hula akan memberi ulos yang disebut ulos Panggabei. Biasanya ulos ini tidak lagi diberikan kepada yang meninggal akan tetapi kepada seluruh turunannya (anak, pahompu, dan cicit). Biasanya ulos ini jumlahnya sesuai dengan urutan hula-hula mulai dari hula-hula, bona tulang, bona ni ari, dan seluruh hula-hula anaknya dan hula-hula cucu/cicitnya.
Acara kematian untuk orang tua seperti ini biasanya memakan waktu sangat lama, adakalanya mencapai 3-5 hari acaranya. Biaya acaranya cukup besar, karena inilah acara puncak kehidupan orang yang terakhir.
Di wilayah Toba, Simalungun dan Tanah Karo pada prinsipnya pihak hula-hulalah yang memberikan ulos kepada parboru/boru (dalam perkawinan). Tetapi diwilayah Pakpak / Dairi dan Tapanuli Selatan, pihak borulah yang memberikan ulos kepada kula-kula (kaling bubu) atau mora. Perbedaan spesifik ini bukan berarti mengurangi nilai dan makna ulos dalam upacara adat.
Semua pelaksanaan adat batak dititik beratkan sesuai dengan "dalihan na tolu" (tungku/dapur terdiri dari tiga batu) yang pengertiannya dalam adat batak ialah dongan tubu, boru, hula-hula harus saling membantu dan saling hormat menghormati.
Di wilayah Toba yang berhak memberikan ulos ialah :
1. Pihak hula-hula (tulang, mertua, bona tulang, bona ni ari, dan tulang rorobot).
2. Pihak dongan tubu (ayah, saudara ayah, kakek, saudara penganten laki-laki yang lebih tinggi dalam kedudukan kekeluargaan) .
3. Pihak pariban (dalam urutan tinggi pada kekeluargaan) .
Ale-ale (teman kerabat) yang sering kita lihat turut memberikan ulos, sebenarnya adalah diluar tohonan Dalihan na tolu (pemberian ale-ale tidak ditentukan harus ulos, ada kalanya diberikan dalam bentuk kado dan lain-lain).
Dari urutan diatas jelaslah bahwa yang berhak memberikan ulos adalah mereka yang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dalam urutan kekeluargaan dari sipenerima ulos.
Mantap artikel nya, amangboru (kebetulan namboru khu muli tu simamora), sahali maramngboru ma ate :)
BalasHapusKlo boleh sharing sedikit, sehubungan baru aja saya mengikuti pesta boru ni bapa uda kandung. Molo boi patakkas jala patorang amangboru, boru ni bapa uda on 2 bapatua na kandung ( RIP ), Pertanyaan "WAJIB" do hukum na hita hundul gabe suhut dua sa sian perwakilan bapatua na. Klo wajib, dan ternyata hanya salah satu aja yang duduk di sana. Songon dia do denggan na hombar tu paradaton. Mauliate parjolo amangboru. Marsattabi molo agak marpasir2 hata batak i, alaning tubu di Bandung iba, boi ma di dokkon dalle na perduli tu adat na denggan, ima adat hita batak i. Horas.
Budy Napitupulu